Jangan Beri Insentif Bagi Plastik Tak Ramah Lingkungan |
Kebijakan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menerapkan biaya tambahan paling sedikit Rp200 untuk setiap transaksi menggunakan kantong plastik mendorong pemerintah menengok kembali persoalan sampah plastik di Indonesia.Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, misalnya mengaku memiliki rumusan kebijakan sampah plastik yang berbeda dari yang diterapkan peritel. Ia melihat persoalan sampah plastik seharusnya ditangani dengan meningkatkan daur ulang dari plastik itu sendiri. "Kalau konsepnya plastik berbayar, berarti plastiknya boleh, asalkan bayar. Padahal, konsepnya ialah kami minta jangan bebankan lingkungan (dengan plastik)," jelasnya, belum lama ini.
Hal senada disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan. Kendati masih mengkaji kebijakan Aprindo soal plastik berbayar, namun ia menekankan bahwa pemerintah lebih mendorong kebijakan terkait daur ulang dalam menangani sampah plastik.
Pernyataan itu ada benarnya, mengingat Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto bilang rata-rata industri baru mendaur ulang 10 persen sampahnya. "Di negara lain sudah 25 persen. Lebih cepat (target 25 persen) lebih bagus," imbuh dia.
Sebetulnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku siap memberikan insentif fiskal yang tepat bagi pelaku industri daur ulang sampah plastik. Apalagi, jika usulan itu efektif untuk mengurai persoalan sampah plastik, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi.
Persoalannya, Manajer Kampanye Perkotaan, Tambang, dan Energi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Dwi Sawung menuturkan tidak semua sampah plastik bisa didaur ulang. Ia menilai beberapa jenis plastik turun kualitasnya setelah didaur ulang, misalnya kantong kresek.
Beberapa lainnya tidak bisa didaur ulang karena terdiri dari beberapa lapisan (multi layer), seperti plastik kemasan sabun.
Karenanya, Sawung menyarankan agar insentif diberikan kepada produsen yang bisa mendaur ulang sampah plastik dan menyediakan sistem daur ulang. Sementara, yang tidak bisa mendaur ulang sampah plastiknya, dikenakan disinsentif."Ada keluhan dari produsen yang menghasilkan 100 persen produk daur ulang. Harusnya ada perbedaan produsen yang bisa menghasilkan produk daur ulang dengan yang tidak bisa produksi, seperti pengurangan pajak,
Nah, disinsentifnya, sambung dia, bisa berupa pengenaan cukai plastik bagi plastik yang tidak bisa didaur ulang 100 persen. Sekadar informasi, terkait cukai plastik, pemerintah menargetkan penerapannya tahun ini juga. Namun, rancangan aturannya sendiri masih difinalisasi dengan DPR.
Di sisi lain, perlu juga pengembangan industri daur ulang, mengingat Indonesia sudah sangat tertinggal dibandingkan negara lain. Sebagai langkah awal, bisa dimulai dari pemilahan sampah."Misalnya kresek bisa didaur ulang, tapi harus bersih dan tidak tercampur, tapi ini membutuhkan upaya keras. Untuk membersihkan plastik kadang tidak sebanding dengan nilai produk hasil daur ulang," katanya.
Negara yang sukses mengembangkan proses daur ulang sampah adalah Jerman. Jerman mampu menghasilkan beberapa produk baru lewat daur ulang. Selain itu, Jerman juga menerapkan sistem deposito pada pengelolaan sampah botol. Misal, industri minuman memungut harga dari botol, nantinya konsumen bisa menebus kembali uang botol bila konsumen mengembalikan botol tersebut. Upaya lainnya, Sawung menuturkan peningkatan alokasi pengelolaan sampah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Alokasi anggaran itu dibutuhkan untuk membuat sistem pengelolaan sampah terintegrasi. Informasi saja, pemerintah menganggarkan Rp800 miliar untuk pengelolaan sampah.
Namun demikian, menurut Sawung, jumlah tersebut belum mampu mengakomodasi kebutuhan pengelolaan sampah di Indonesia. Bahkan, ia menilai banyak daerah yang biaya pengangkutan sampahnya tidak sampai 50 persen dari biaya yang seharusnya. "Di Jakarta biaya pengangkutan sampah paling tinggi sekitar Rp156 ribu per ton. Di tempat lain ada yang hanya Rp12 ribu per ton dibandingkan dengan jumlah penduduk, sehingga pantas saja banyak sampai terbuang di sungai," jelasnya.
Makanya, ia menegaskan apabila pemerintah serius ingin mengurai masalah sampah di Indonesia, maka diperlukan tindakan, pembangunan sistem terintegrasi, serta anggaran. Jika tidak, maka tumpukan sampah di Indonesia makin menggunung.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengamini pernyataan Sawung jika pengenaan cukai pada plastik yang tidak bisa didaur ulang menjadi salah satu solusi tepat dalam mengurangi sampah plastik. Ia yakin disinsentif akan mendorong produsen untuk menghasilkan plastik yang bisa didaur ulang. "Tetapi pemerintah harus sosialisasi dengan jelas bahwa yang dikenakan cukai adalah plastik kresek yang tidak ramah lingkungan, sehingga akan ada insentif bagi produksi plastik yang ramah lingkungan," kata Enny.
Saat ini, daur ulang sampah plastik cukup efektif berjalan di Indonesia. Namun demikian, untuk mendukung peningkatan proses daur ulang dibutuhkan langkah pemisahan sampai mulai dari rumah tangga. Hal ini tentunya membutuhkan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat Indonesia. "Kalau di negara maju ada pemilahan sampah organik dan non organik, dari rumah tangga saja sudah dipisah, sehingga pengolahannya lebih mudah," tukasnya.
Untuk diketahui, Badan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Program Lingkungan, yaitu United Nations Environment Programme (UNEP) dalam studinya pada 2015 menyebut bahwa 280 juta ton plastik diproduksi secara global tiap tahun. Ironisnya Indonesia menjadi negara penyumbang kedua sampah plastik di dunia dengan total 3,2 juta ton dalam setahun. Pada urutan pertama ada China yang menyumbang 8,8 juta ton sampah per tahun.
Hal senada disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan. Kendati masih mengkaji kebijakan Aprindo soal plastik berbayar, namun ia menekankan bahwa pemerintah lebih mendorong kebijakan terkait daur ulang dalam menangani sampah plastik.
Pernyataan itu ada benarnya, mengingat Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto bilang rata-rata industri baru mendaur ulang 10 persen sampahnya. "Di negara lain sudah 25 persen. Lebih cepat (target 25 persen) lebih bagus," imbuh dia.
Sebetulnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku siap memberikan insentif fiskal yang tepat bagi pelaku industri daur ulang sampah plastik. Apalagi, jika usulan itu efektif untuk mengurai persoalan sampah plastik, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi.
Persoalannya, Manajer Kampanye Perkotaan, Tambang, dan Energi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Dwi Sawung menuturkan tidak semua sampah plastik bisa didaur ulang. Ia menilai beberapa jenis plastik turun kualitasnya setelah didaur ulang, misalnya kantong kresek.
Beberapa lainnya tidak bisa didaur ulang karena terdiri dari beberapa lapisan (multi layer), seperti plastik kemasan sabun.
Karenanya, Sawung menyarankan agar insentif diberikan kepada produsen yang bisa mendaur ulang sampah plastik dan menyediakan sistem daur ulang. Sementara, yang tidak bisa mendaur ulang sampah plastiknya, dikenakan disinsentif."Ada keluhan dari produsen yang menghasilkan 100 persen produk daur ulang. Harusnya ada perbedaan produsen yang bisa menghasilkan produk daur ulang dengan yang tidak bisa produksi, seperti pengurangan pajak,
Nah, disinsentifnya, sambung dia, bisa berupa pengenaan cukai plastik bagi plastik yang tidak bisa didaur ulang 100 persen. Sekadar informasi, terkait cukai plastik, pemerintah menargetkan penerapannya tahun ini juga. Namun, rancangan aturannya sendiri masih difinalisasi dengan DPR.
Di sisi lain, perlu juga pengembangan industri daur ulang, mengingat Indonesia sudah sangat tertinggal dibandingkan negara lain. Sebagai langkah awal, bisa dimulai dari pemilahan sampah."Misalnya kresek bisa didaur ulang, tapi harus bersih dan tidak tercampur, tapi ini membutuhkan upaya keras. Untuk membersihkan plastik kadang tidak sebanding dengan nilai produk hasil daur ulang," katanya.
Negara yang sukses mengembangkan proses daur ulang sampah adalah Jerman. Jerman mampu menghasilkan beberapa produk baru lewat daur ulang. Selain itu, Jerman juga menerapkan sistem deposito pada pengelolaan sampah botol. Misal, industri minuman memungut harga dari botol, nantinya konsumen bisa menebus kembali uang botol bila konsumen mengembalikan botol tersebut. Upaya lainnya, Sawung menuturkan peningkatan alokasi pengelolaan sampah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Alokasi anggaran itu dibutuhkan untuk membuat sistem pengelolaan sampah terintegrasi. Informasi saja, pemerintah menganggarkan Rp800 miliar untuk pengelolaan sampah.
Namun demikian, menurut Sawung, jumlah tersebut belum mampu mengakomodasi kebutuhan pengelolaan sampah di Indonesia. Bahkan, ia menilai banyak daerah yang biaya pengangkutan sampahnya tidak sampai 50 persen dari biaya yang seharusnya. "Di Jakarta biaya pengangkutan sampah paling tinggi sekitar Rp156 ribu per ton. Di tempat lain ada yang hanya Rp12 ribu per ton dibandingkan dengan jumlah penduduk, sehingga pantas saja banyak sampai terbuang di sungai," jelasnya.
Makanya, ia menegaskan apabila pemerintah serius ingin mengurai masalah sampah di Indonesia, maka diperlukan tindakan, pembangunan sistem terintegrasi, serta anggaran. Jika tidak, maka tumpukan sampah di Indonesia makin menggunung.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengamini pernyataan Sawung jika pengenaan cukai pada plastik yang tidak bisa didaur ulang menjadi salah satu solusi tepat dalam mengurangi sampah plastik. Ia yakin disinsentif akan mendorong produsen untuk menghasilkan plastik yang bisa didaur ulang. "Tetapi pemerintah harus sosialisasi dengan jelas bahwa yang dikenakan cukai adalah plastik kresek yang tidak ramah lingkungan, sehingga akan ada insentif bagi produksi plastik yang ramah lingkungan," kata Enny.
Saat ini, daur ulang sampah plastik cukup efektif berjalan di Indonesia. Namun demikian, untuk mendukung peningkatan proses daur ulang dibutuhkan langkah pemisahan sampai mulai dari rumah tangga. Hal ini tentunya membutuhkan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat Indonesia. "Kalau di negara maju ada pemilahan sampah organik dan non organik, dari rumah tangga saja sudah dipisah, sehingga pengolahannya lebih mudah," tukasnya.
Untuk diketahui, Badan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Program Lingkungan, yaitu United Nations Environment Programme (UNEP) dalam studinya pada 2015 menyebut bahwa 280 juta ton plastik diproduksi secara global tiap tahun. Ironisnya Indonesia menjadi negara penyumbang kedua sampah plastik di dunia dengan total 3,2 juta ton dalam setahun. Pada urutan pertama ada China yang menyumbang 8,8 juta ton sampah per tahun.
Demikianlah Artikel Jangan Beri Insentif Bagi Plastik Tak Ramah Lingkungan
Sekian Jangan Beri Insentif Bagi Plastik Tak Ramah Lingkungan, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian postingan kali ini.
Anda sedang membaca artikel Jangan Beri Insentif Bagi Plastik Tak Ramah Lingkungan dan artikel ini url permalinknya adalah https://onlineberita24.blogspot.com/2019/03/jangan-beri-insentif-bagi-plastik-tak.html Semoga artikel ini bisa bermanfaat.