Perkembangan Asimetris Penerbangan Nasional yang Sangat Membahayakan |
Kejadian tabrakan fatal 2 pesawat terbang sipil komersial antara Pesawat Batik Air jenis Boeing 737-800 dengan nomor registrasi PK-LBS dan pesawat TransNusa dengan jenis ATR 42 seri 600 di landasan Bandar Udara Halim Perdanakusuma, tanggal 4 April 2016 yang lalu, ternyata tidak berpengaruh sama sekali dengan upaya meningkatkan terus slot penerbangan sipil komersial di Halim. Potensi bahaya dalam pengelolaan penerbangan sipil komersial yang mendompleng Pangkalan Angkatan Udara sama sekali tidak menjadi pertimbangan dalam upaya mengembangkan terus slot penerbangan sipil komersial.
Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma pernah di jadikan untuk International Airport sementara pada saat Cengkareng di bangun untuk memfasilitasi dan menggantikan Airport Kemayoran yang sudah tidak memadai lagi. Untuk sementara, karena memang Halim tidak didisain bagi keperluan atau kegiatan penerbangan sipil komersial. Dengan runway yang hanya satu buah tanpa tersedianya Paralel Taxiway dan area parkir pesawat yang sempit maka Halim memang tidaklah tepat, bahkan berpotensi bahaya bagi kegiatan penerbangan sipil komersial. Demikian pula pertimbangan lain bahwa Halim adalah merupakan kawasan “restricted area” seperti yang ditegaskan kembali dalam PP no 4 tahun 2018 tentang Pam Wilayah Udara Nasional.
Tentu saja hal tersebut juga merujuk kepada fungsi Halim sebagai Markas Besar Pusat Kendali dari Sistem Pertahanan Udara Nasional yang merupakan bagian dari system pertahanan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perkembangan selanjutnya yang terjadi adalah, pada saat “salah urus“ penerbangan sipil di Cengkareng di tahun 2014. Ketika itu terjadi delay yang hampir mencapai 10 hingga 12 jam dan nyaris terjadi kesemrawutan yang tidak terkendali, maka muncullah ide untuk mengalihkan “untuk sementara” (tidak jelas, sementara sampai kapan?) kelebihan slot penerbangan di Cengkareng ke Halim.
Mempertimbangkan posisi Halim sebagai Pangkalan Angkatan Udara dan beberapa kegiatan yang berkait dengan system pertahanan keamanan negara antara lain Penerbangan VVIP dan penerbangan Kepala Negara serta Tamu Negara setingkat, maka disepakatilah saat itu untuk tindakan penyelamatan sementara dengan memberikan slot penerbangan bagi kegiatan penerbangan sipil sebanyak 74 take off landing dalam satu hari (tahun 2014). Yang sangat “aneh” adalah muncul perkembangan untuk meningkatkan slot penerbangan di Halim, atas pertimbangan lebih banyak orang senang bepergian dari Halim. Pertimbangan Halim sebagai basis dari sistem pertahanan udara nasional sama sekali diabaikan dan ini terlihat pada realita dalam belakangan ini (2018-2019) sudah terjadi lebih dari 100 hingga 150 slot penerbangan sipil dalam sehari di Pangkalan Angkatan Udara Halim.
Tidak diketahui kemudian bagaimana Angkatan Udara dapat melakukan kegiatan penerbangan operasional dan penerbangan latihan di rumahnya sendiri. Sebuah keputusan yang sangat ceroboh dan sangat naif. Bahkan konon sudah terlintas pula sebuah rencana besar mengembangkan Halim untuk menjadi International Airport kembali tanpa terlihat perencanaan ke mana kegiatan sistem pertahanan udara nasional akan di pindahkan. Rangkaian pengelolaan penerbangan sipil yang terkesan sangat amatiran ini memang sesungguhnya dapat dimaklumi karena perkembangan dinamika dari manajemen penerbangan secara nasional selama ini, hampir 2 dekade berjalan asimetris antara penerbangan sipil dan penerbangan militer atau non sipil. Keseimbangan pemikiran dalam mengelola penerbangan secara nasional sejauh ini memang terlihat berpihak “hanya” kepada bagaimana meningkatkan sektor penerbangan sipil komersial belaka. Penerbangan bagi keperluan pertahanan keamanan negara dan tata kelola pemerintahan seperti penerbangan Angkatan Udara, Angkatan Darat Angkatan Laut, Kepolisian Negara, Bea Cukai dan institusi pemerintah lainnya, sama sekali tidak diperhatikan. Itu semua terlihat dari bagaimana pengembangan penerbangan sipil komersial sudah merambah masuk ke pangkalan-pangkalan udara militer yang merupakan bagian atau sub system dari system pertahanan negara.
Tidak hanya pangkalan-pangkalan militer saja yang menjadi sasaran (Halim, Adi Sutjipto, Ahmad Yani, Juanda dan sebentar lagi Tasikmalaya, Malang dan lainnya) akan tetapi juga ruang udara atau “air space” yang tadinya diperuntukkan bagi penerbangan latihan militer serta keperluan “patroli udara” dalam konteks National Security sama sekali tidak menjadi pertimbangan. Inilah gambaran dari perkembangan penerbangan nasional yang asimteris dalam arti jauh dari mempertimbangkan aspek pertahanan keamanan negara. Perkembangan penerbangan sipil komersial telah berjalan sendiri meninggalkan kepentingan penerbangan yang berada dalam domain pertahanan keamanan negara dan tatakelola pemerintahan dari sebuah negara yang berdaulat dan bermartabat.
Apabila perkembangan ini berlanjut terus, maka akan sangat berbahaya, tidak hanya bagi aspek keselamatan penerbangan akan tetapi lebih jauh dari itu akan sangat mengancam eksistensi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kejadian 911 di Amerika Serikat di tahun 2001 lalu adalah sekedar contoh saja dari betapa berbahayanya penerbangan sipil komersial yang dapat digunakan oleh teroris untuk meruntuhkan martabat sebuah negara. Penerbangan sipil komersial yang lepas kendali dan dapat membuat Amerika Serikat, sebuah negara super power dalam kondisi “Under attack”, dengan diserangnya Pentagon, Gedung Putih, dan Menara Kembar di New York yang runtuh hanya dalam hitungan jam saja.
Demikianlah Artikel Perkembangan Asimetris Penerbangan Nasional yang Sangat Membahayakan
Sekian Perkembangan Asimetris Penerbangan Nasional yang Sangat Membahayakan, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian postingan kali ini.
Anda sedang membaca artikel Perkembangan Asimetris Penerbangan Nasional yang Sangat Membahayakan dan artikel ini url permalinknya adalah https://onlineberita24.blogspot.com/2019/03/perkembangan-asimetris-penerbangan.html Semoga artikel ini bisa bermanfaat.